Rabu, 06 Mei 2009

ANTARA MINAT BACA DAN SELERA BACA

Oleh Tengsoe Tjahjono

Membaca merupakan salah satu kegiatan bahasa yang amat vital dalam masyarakat modern dan lebih-lebih di kalangan akademisi. Dalam masyarakat setiap hari puluhan koran, majalah, bahkan buku-buku selalu diproduksi dan dipasarkan. Di dalam semua jenis media itu akan dijumpai informasi mengenai pengetahuan, berita, lapangan pekerjaan, iklan, dan sebagainya, yang mau tak mau harus diserap oleh masyarakat modern tersebut. Kecuali, jika masyarakat modern tersebut, hanya modern dalam dimensi waktu, bukan modern dalam dimensi kultural. Membaca, seharusnya, menjadi kebutuhan hidup masyarakat ini.
Rosidi (1983:86) menegaskan bahwa pengetahuan sebagian besar tidaklah didapatkan dari bangku sekolah, melainkan melalui buku. Banyak orang mengatakan bahwa buku itu sesungguhnya merupakan universitas yang paling baik.
Sedangkan di kalangan akademisi membaca menjadi jantung kehidupan mereka. Informasi yang diberikan guru atau dosen tentu amat terbatas. Untuk memperluas cakrawala akademik mereka buku merupakan sarana yang mesti diakrabi. Tanpa membaca buku seorang akademisi akan berjalan di lorong gelap. Analisis yang mereka lakukan terhadap segala persoalan hanya akan bersifat intuitif tanpa teori yang telah diuji kebenarannya melalui pelbagai penelitian. Akibatnya pembahasannya hanya akan seperti orang berbincang di warung kopi atau di tengah padang penggembalaan. Acapkali terjadi ‘debat kusir’ karena masing-masing pribadi hanya akan menonjolkan subjektivitas intuisinya. Hal itu disebabkan tidak adanya referensi yang mendukung atau menunjang kajiannya. Di situlah kegiatan membaca diperlukan oleh para akademisi.
Finochiaro dan Bonomo (1973:21) menjelaskan bahwa membaca berarti mengambil atau memahami arti dari bahan cetakan atau tulisan. Karena itulah membaca memang memerlukan persyaratan tertentu bagi pembaca agar ia dapat memahami makna tersebut. Menurut Nurhadi (1987:123) untuk memperlancar proses membaca, seorang pembaca harus memiliki modal: (1) pengetahuan dan pengalaman, (2) kemampuan berbahasa (kebahasaan), (3) pengetahuan tentang teknik membaca, dan (4) tujuan membaca.
Ada satu batasan membaca yang amat komprehensif yaitu: “Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu.” (Oka, 1983:17).
Oleh karena itu membaca bukan sekadar ‘melafalkan huruf-huruf’, tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Kita dituntut memiliki sikap kritis-kreatif. Jadi kita harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.
Menurut Smith (1973:36) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menuntut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir dan bernalar. Edward L. Thorndike pun mengatakan bahwa reading as thingking dan reading as reasoning.

Sudahkah Kita Membaca?
Selama ini selalu ada pernyataan bahwa kita belum mempunyai budaya baca. Atau, dengan kata lain minat baca kita rendah. Benarkah demikian?
Ketika saya berjalan-jalan di toko-toko buku, entah di Gramedia, Togamas, atau lainnya, selalu saya lihat berjubel orang di sana. Berjubel untuk memilih dan membeli buku. Anak-anak, remaja, dan kelompok usia dewasa ada yang mengerumuni buku-buku komik terjemahan dari Jepang juga novel-novel anak muda. Saat berada di dalam bus, kereta api, atau pun pesawat udara, acapkali kulihat banyak penumpang yang membaca di tempat duduknya. Panorama itu sekilas membuktikan bahwa minat membaca buku sudah ada.
Bahkan, jika kita sempat anjangsana ke perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, kita juga akan melihat para mahasiswa yang hilir-mudik mencari buku di rak-rak. Sementara, di meja-meja baca pun terlihat mahasiswa sedang suntuk menghadapi beberapa buku. Fenomena itu sepintas menunjukkan bahwa di kalangan mahasiswa pun membaca buku sudah menjadi kebutuhan.
Tetapi, benarkah itu merupakan indikasi bahwa minat baca telah tumbuh di antara mereka? Tampaknya kita harus secara kritis menanggapinya.
Jika kita perhatikan secara cermat yang banyak dikerumuni orang di dalam toko buku itu ialah gerai komik dan novel-novel teenage. Anehnya, segala umur terdapat dalam kerumunan itu. Komik dan novel teenage telah menjadi booming sekarang ini. Pembaca Doraemon, Sinchan, Detektif Conan, dan sebagainya bukan anak-anak atau remaja saja, mahasiswa pun tampak keranjingan dengan bacaan jenis itu. Hal itu tentu merupakan fenomena yang unik dan menarik di Indonesia.
Jadi, jika kita bicara mengenai minat baca, minat baca telah tumbuh di antara mereka. Tetapi, bagaimana dengan selera baca mereka? Selera baca tampaknya berjalan dengan trend bacaan yang ada. Artinya, pembaca kita dalam memilih bacaan bagai memilih makanan sejenis pizza, fried chicken, hot dog, dan sebagainya. Tanpa pernah berpikir apakah makanan itu sesuai dengan anatomi lambungnya yang diciptakan untuk hidup bertahan di daerah tropis. Tanpa pernah mengkaji apakah gizi yang terkandung dalam makanan itu sesuai dengan kebutuhan gizi masyarakat kita yang selalu diterpa sinar matahari.
Membaca dapat dianalogikan dengan makan. Makanan yang kita pilih tentu makanan yang penuh kandungan gizi, mineral, protein, vitamin, dan sebagainya sehingga mampu menyehatkan kita. Bacaan pun harus mampu menyehatkan jiwa kita. Bacaan itu setidak-tidaknya harus mampu memperluas cakrawala pengetahuan kita serta lebih jauh harus bisa mencerdaskan kita sebagai pembaca.
Fungsi bacaan tentu bukan sekadar untuk menghibur. Anderson (1972:214) mencatat beberapa tujuan membaca sebagai berikut.
1. Membaca untuk menemukan rincian atau fakta (reading for details or facts). Jadi, dalam hal ini membaca bertujuan untuk memperoleh gambaran objek atau fakta secara rinci dan akurat. Misalnya membaca perihal keadaan kota Sumenep pada waktu malam minggu.
2. Membaca untuk menemukan gagasan utama (reading for main ideas). Dalam hal ini membaca bertujuan untuk memahami gagasan atau pikiran-pikiran yang disajikan penulis melalui karyanya. Misalnya membaca artikel yang berjudul “Sudah Siapkah Kita Melaksanakan Pilkada secara Langsung?” Dengan membaca artikel itu kita berharap menemukan pikiran-pikiran penulis perihal sisi negatif pilkada secara langsung misalnya.
3. Membaca untuk mengetahui urutan dan organisasi sebuah teks tertulis (reading for sequence or organization). Apabila kita akan membeli buku, sebaiknya kita membaca lebih dahulu daftar isi buku tersebut. Daftar isi itu merupakan gambaran garis besar buku tersebut. Dari situ akan terlihat urutan bahan dan sekaligus penataannya. Organisasi berpikir pengarang akan tercermin oleh daftar isi itu.
4. Membaca untuk menyimpulkan (reading for inference). Hal ini bisa kita lakukan manakala kita telah menyelesaikan satu teks bacaan sampai tuntas. Dalam sebuah buku yang terdiri atas beberapa bab atau subbab proses inferensi bisa dimulai pada akhir setiap subbab, bab, dan pada akhirnya setelah kita membaca secara menyeluruh isi buku itu.
5. Membaca untuk mengelompokkan (reading for classify). Jika kita bekerja di perpustakaan kita dituntut untuk mengelompokkan buku secara benar, mana yang buku filsafat, kebudayaan, sains, sejarah, dan sebagainya. Indikasi pengelompokan itu dapat dilihat dari judul buku atau baru dapat ditentukan kelompoknya bila kita telah membacanya.
6. Membaca untuk menilai (reading to evaluate). Hal ini biasa dilakukan dalam kegiatan meresensi buku. Ketika meresensi buku seorang peresensi akan membaca dengan tujuan untuk menilai isi, bahasa yang dipakai buku itu, dan sistematika penyajiannya. Pada akhirnya peresensi akan memberikan rekomendasi atas dasar hasil penilaiannya terhadap buku itu: apakah buku itu layak dibaca atau justru tidak usah dibeli, apakah buku itu mengandung pesan moral yang baik atau justru kebalikannya, dan seterusnya.
7. Membaca untuk membandingkan atau mencari perbedaannya (reading to compare or contrast). Dalam setiap bacaan tentu akan dijumpai banyak hal atau peristiwa. Dalam buku kesehatan misalnya kita harus bisa menentukan apakah polio itu sejenis penyakit karena virus atau bukan. Untuk itu kita dituntut membandingkan polio ini dengan penyakit lain dan jika diperlukan mencari perbedaannya.
Jika kita mencermati tujuan membaca menurut versi Anderson itu, kita berhak bertanya kepada mahasiswa yang gemar membaca Sinchan: tujuan yang mana yang hendak digapai? Jawabannya hanya satu: hiburan. Kalau itu jawabannya maka mahasiswa itu tidak akan pernah dicerdaskan oleh bacaan sejenis Sinchan tersebut. Gizi apa yang diperolehnya untuk kepentingan jiwanya setelah membaca Sinchan? Mungkin ia akan mengatakan bahwa gizi akan diperolehnya dari buku lain, bukan Sinchan. Dengan Sinchan ia hanya ingin dihibur. Tapi, benarkah ia membaca buku jenis lain?
Memang benar bahwa perpustakaan banyak dikunjungi mahasiswa. Hanya saja mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan rata-rata mereka yang sedang mengerjakan tugas makalah dari dosennya atau tugas akhir berupa skripsi. Untuk menulis skripsi pun mereka membaca skripsi yang sudah ada, kemudian mengutip beberapa bagian kajian pustaka dan metode penelitian. Andaikan tidak harus menulis makalah atau skripsi, mereka akan terlihat mojok memegang HP bersms-ria. Jadi, motivasi yang benar untuk membaca ternyata belum begitu tampak.
Adakah mahasiswa atau kita secara umum dengan penuh kesadaran membeli buku untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita? Mungkin jawabannya: ada, tetapi tidak banyak. Dan yang tidak banyak itu akan berkilah bahwa sekarang ini harga buku mahal. Benarkah mahal? Sebab di sisi yang lain mereka dapat membeli pulsa telepon seluler100 ribu rupiah tiap bulan. Hal itu berarti bahwa penyebab utama bukan pada mahalnya buku tetapi justru pada motivasi yang tidak ada, serta tampaknya buku belum menjadi prioritas dalam hidup mereka.

Subsidi Pemerintah untuk Buku
Peningkatan minat baca memerlukan sarana-prasarana. Sarana penting dan harus tersedia ialah BUKU itu sendiri. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, seperti yang saya sebutkan di atas, harga buku tentu bukanlah alasan. Tetapi, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah buku menjadi benda yang amat mewah. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan subsidi bagi pengadaan buku murah tersebut.
Saat saya bersekolah pada tahun 1970-an buku bukanlah sesuatu yang mempersulit kehidupan keluarga saya. Semua buku pelajaran disediakan di perpustakaan sekolah, saya tinggal meminjamnya. Sehingga setiap awal tahun ajaran baru kami tak pernah merasa khawatir mengenai keuangan untuk membeli buku. Mengapa di masa sekarang ini hal itu tak dapat dilakukan? Bagi saya ini merupakan sebuah kemunduran.
Di samping buku-buku pelajaran di perpustakaan juga tersedia buku-buku referensi lain. Misalnya: novel, ensiklopedia, kamus, buku pengerahuan umum, filsafat, dan sebagainya, yang jumlahnya tidak hanya 1 atau 2 eksemplar, tetapi cukup untuk klas yang beranggotakan 40 siswa. Dengan cara demikian peningkatan minat baca bukan sekadar slogan kosong tetapi dibarengi dengan penyediaan sarana-prasarana.
Menurut Rosidi (1983:18) rendahnya minat baca bangsa Indonesia sekarang ini disebabkan terutama oleh rendahnya daya beli. Rendahnya daya beli itu disebabkan oleh rendahnya penghasilan umumnya bangsa kita. Oleh karena itu, jika perlu pemerintah membangun toko buku murah di setiap kota yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah itu.

Peningkatan Minat Baca
Minat baca itu hendaknya ditumbuhkan sejak anak usia dini, terutama melalui lembaga pendidikan. Kegemaran membaca bukanlah aktivitas yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak. Membaca merupakan kebiasaan yang harus ditanamkan, dipupuk, dibina, dibimbing, dan diarahkan. Pembinaan tersebut hendaknya diarahkan bukan hanya pada teknik membacanya tetapi juga pada pemilihan bahan bacaan. Anak harus dilatih untuk memilih bacaan dengan memperhitungkan aspek moral, bahasa, dan kesesuaiannya dengan kebutuhannya.
Luwarsih Pringgoadisurjo (1974) menyebutkan ada 3 klasifikasi buku untuk anak, yaitu: (1) buku referens (buku untuk memperoleh informasi), (2) buku studi (buku untuk membina pengetahuan), dan (3) buku rekreasi (buku untuk menikmati dan menghayati pengalaman). Jadi, anak hendaknya dilatih untuk memilih jenis-jenis buku tersebut yang akan memperluas cakrawala pengetahuan dan pengalaman mereka.
Kegiatan itu sangat bisa dilakukan di sekolah, lebih-lebih dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sekarang ini. Persoalan yang muncul adalah: (1) tersediakah buku-buku di perpustakaan sekolah secara memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan (2) sudah siapkah guru-guru (bukan hanya guru Bahasa Indonesia, karena membaca merupakan keharusan setiap mata pelajaran) mendampingi siswa membaca?
Memang, diakui atau tidak, ada beberapa penghambat kegiatan peningkatan minat baca ini, antara lain:
(1) Orang dewasa (baik guru maupun orang tua) tidak menunjukkan kegemaran membaca yang pantas diteladani anak-anak atau siswa.
(2) Kurang tersedianya buku-buku bermutu, bahkan koran atau majalah, terutama di rumah, yang mendorong anak rindu membaca.
(3) Banyak orang tua menganggap buku bukan merupakan prioritas penting, sehingga tidak merasa perlu membelinya untuk anak-anaknya.

Peningkatan Selera Baca
Tak ada salahnya anak-anak membaca Sinchan, Kobo-Chan, Doraemon, dan sebagainya. Tetapi, orang tua harus mengimbangi minat baca anak-anak itu dengan menyediakan buku-buku pengetahuan populer (buku pengetahuan yang ditulis dengan cara sederhana, bahasa yang mudah dipahami anak, penuh dengan gambar warna-warni, dan sebagainya) yang juga tersedia di toko-toko buku. Dengan cara demikian, selera baca anak-anak diarahkan ke pelbagai dimensi baca yang membuat anak diperkaya jiwanya.
Di usia SMP anak-anak di samping komik mulai diperkenalkan dengan novel-novel teenage. Artinya, anak mulai diajak untuk berpindah dari wilayah gambar ke wilayah lambang verbal. Hal ini penting sekali untuk melatih daya abstraksi mereka. Untuk mendapatkan pengetahuan umum anak sudah diarahkan untuk mampu membaca ensiklopedia secara cepat dan akurat misalnya. Setahap demi setahap bobot buku yang dibaca anak harus berubah, sehingga di SMA atau perguruan tinggi mereka tidak lagi kecanduan Sinchan. Sinchan sudah menjadi masa lalu mereka seharusnya.
Itulah sepintas pemaparan saya mengenai minat baca. Bagi saya minat baca sebenarnya sudah tumbuh dalam diri kita. Hanya saja minat baca tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan selera baca secara benar. Akibatnya, walau kita sudah membaca, kita tetap tidak dicerdaskan oleh bahan bacaan kita. Kita harus mau menumbuhkan kesadaran diri memilih bahan bacaan yang sungguh bergizi.
Di samping itu budaya baca bisa tumbuh bila tersedia buku-buku bacaan dan perpustakaan. Karena itu, campur tangan pemerintah dalam bentuk pemberian subsidi terhadap penyediaan buku murah sangat dinantikan. Tanpa itu semua peningkatan minat baca hanya akan menjadi sebuah utopia.


DAFTAR RUJUKAN
Anderson, Paul S., 1972, Language Skills in Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Inc.

Finnocchiaro, Nary & Michael Bonomo, 1973. The Foreign Language Learner: A Guide for Teacher. New York: Regents Publishing Company Inc.

Oka, I Gusti Ngurah, 1983. Pengantar Membaca dan Pengajarannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Rosidi, Ajip, 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.

Smith, Frank, 1973. Psycholinguistics and Reading. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.





BIODATA

TENGSOE TJAHJONO, lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair yang mempunyai hobi membaca ini merupakan staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPB Unesa Surabaya. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Widya Mandala Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan STKIP PGRI Sumenep. Puisi, cerpen, novel, bahkan naskah drama telah ditulisnya, di samping beberapa buku di bidang sastra. Artikel-artikelnya dimuat di pelbagai media seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, Surya, Republika, Kompas, Horison, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: