Rabu, 06 Mei 2009

NOVEL SEBAGAI WACANA

Oleh Tengsoe Tjahjono






1. Pengantar
Menurut Abrams (1981:119) novel merupakan ragam tulisan yang merupakan bagian dari prosa fiksi. Sebagai karya narasi novel dibedakan dengan cerita pendek dan dari karya yang menengah panjangnya yaitu novelet. Novel memberi peluang untuk hadirnya banyak tokoh, pertikaian dan alur yang kompleks, pengembangan lingkungan secara lebih luas, eksplorasi terhadap tokoh secara mendalam.
Istilah novel untuk sebagian besar bahasa-bahasa Eropa adalah roman yang berasal dari romance. Dalam bahasa Inggris istilah tersebut diambil dari bahasa Italia novella yang berarti ‘sebuah hal baru yang kecil’, sama halnya cerita pendek dalam fiksi. Pada abad ke-14 di Italia banyak koleksi roman yang besar, sebagian serius dan sebagian yang lain amat memalukan. Salah satu karya besar itu adalah Decameron karya Boccacio, yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejak saat itu istilah novella atau dalam bahasa Jerman novelle selalu digunakan sejajar dengan novellete: prosa fiksi yang memiliki panjang menengah.
Sebagai karya sastra novel sekan-akan bertentangan dengan kebenaran dalam merekam pengalaman kemanusiaan, amat paradoksal. Memang karya sastra selalu mengambil bahan dari realitas pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, pengalaman hidup itu telah ditafsirkan pengarang. Griffith pun menyebutkan bahwa the total form of a work represents its interpretation (1982:14). Karya sastra merupakan sebuah dunia imajinasi. Dunia imajinasi itu lahir dari sebuah pandangan pengarang terhadap dunia.
Pandangan dunia yang diungkapkan ke dalam karya sastra itu bersifat subjektif. Pengarang akan mengungkapkan pandangan dunianya mengenai bagaimana dunia itu menurutnya. Masing-masing pengarang akan memiliki pandangan dunia yang berbeda atas peristiwa atau hal yang sama.
Novel merupakan ekspresi dari pribadi yang menulisnya. Kepribadian, perasaan, dan kepercayaan pengarang akan terlihat dalam karyanya. Meskipun pada suatu ketika pengarang dengan sengaja mengambil jarak dengan ciptaannya, tetapi bahwa karya merupakan hasil dialog personalnya dengan lingkungan tidak dapat diingkari. Sebagai dialog personal, pengarang sengaja atau tak sengaja telah mengkomunikasikan dirinya melalui teks novel yang dihasilkannya. Banyak pengarang memutuskan bahwa keterkaitan antara dirinya dengan persoalan yang mereka angkat merupakan hal yang tak terelakkan. Hal tersebut pada akhirnya justru melahirkan keunikan daya ungkap, keunikan karya.
Salah satu dampak sifat ekspresif karya sastra adalah manakala kita membaca karya sastra, yang ingin kita temukan justru pemikiran pengarang. Kita tertarik atau kita menemukan ‘sesuatu’ justru karena ‘kehadiran’ pengarang dalam karyanya. Bahkan kita membaca pula karya-karya lain dari pengarang yang bersangkutan untuk menemukan lebih banyak lagi pengalaman dari pengarang itu. Kita membaca karya Ahmad Tohari demi melihat pengalaman Ahmad Tohari, membaca karya Umar Kayam untuk mengetahui pengalaman Umar Kayam.
Boulton (1975) menjelaskan bahwa novel dalam menggambarkan hidup nyata berusaha sungguh untuk menampilkan kebenaran. Peristiwa atau hal dalam novel kita ketahui tidak terjadi, tetapi dibuat agar dirasakan seperti benar terjadi. Pengalaman hidup nyata tidaklah sama antara manusia satu dengan lainnya. Banyak orang membaca novel dengan maksud untuk mencocokkan kebenaran hidup yang dialaminya dengan pengalaman lain yang terdapat dalam novel. Pembaca akan memperoleh pengalaman baru yang akan memperkuat atau bisa jadi mengubah pandangannya mengenai hidup itu.
Pada umumnya novelis besar berkecenderungan untuk menyajikan pelbagai kebenaran mengenai gambaran kehidupan. Dalam hal tertentu ia tidak jauh berbeda dengan sejarahwan. Sejarahwan mencoba untuk menyusun koherensi, narasi yang bermakna mengenai sesuatu saat manusia tinggal dan hidup di situ. “Sesuatu” itu terlihat sangat hebat, penuh perubahan, berupa mata rantai tanpa putus, penuh laporan yang keliru, rangkaian peristiwa dunia yang membingungkan, berisi pelbagai emosi yang kontradiksi, kacau-balau, tidak logis, tak dapat dipahami secara utuh. Demikian pula, seorang novelis akan melakukan seleksi dan memakai pola tertentu untuk mencoba mendekati pergolakan yang kacau-balau atau letupan buram dari kehidupan manusia, dan mencoba menatanya dalam urutan sebab-akibat yang jelas.
Menurut Boulton (1975:28) tidak ada novel yang mampu memberikan kebenaran total seperti agama, filsafat, atau teori politik; tetapi novel yang baik selalu akan memberikan kepada pembaca beberapa pandangan atau sikap mengenai kebenaran secara fragmentaris. Sebuah novel besar akan menyajikan kompleksitas dan multi-impresi kehidupan dan problematikanya, mengkomunikasikan pelbagai wawasan, baik secara tersurat maupun tersirat.

2. Fakta dan Fiksi dalam Novel
Secara konvensional novel selalu didudukkan sebagai karya fiksi. Fiksi selalu dipertentangkan dengan fakta. Akibatnya novel diklaim sebagai karya yang jauh dari kebenaran, lebih-lebih bila dikaitkan dengan persoalan pemikiran, karena ia hanya merupakan rekaan. Pandangan semacam itu menurut Kleden hanya cocok untuk sementara disampaikan kepada siswa SD atau SMP. Secara lengkap Kleden menulis sebagai berikut.
Persoalan tentang fakta dan fiksi dalam kesusastraan dan ilmu sosial (atau dalam ilmu pengetahuan pada umumnya) rupanya tidak luput dari berbagai pandangan yang bahkan dalam dirinya sendiri sudah penuh dengan fakta dan fiksi itu sendiri. Menganggap bahwa dunia sastra adalah dunia yang fiktif, sedangkan dunia ilmu sosial misalnya adalah dunia yang menyajikan fakta, barangkali masih mempunyai kegunaan didaktis untuk memberikan penjelasan sementara kepada anak-anak SD dan SMP tentang apa itu kesusastraan, tetapi pastilah tidak banyak membantu tercapainya pengertian yang mendekati kenyataan tentang wujud dunia sastra itu sendiri (1998:5).

Menurut Subagio Sastrowardoyo (dalam Kleden, 1998:12) pemahaman bahwa sastra merupakan hasil khayalan berdampak buruk, baik bagi pengarang maupun bagi publik pembaca. Bagi pengarang, anggapan tentang khayal ini membuat mereka akan memandang sastra sebagai “hasil lamunan tentang alam yang berada di luar kehidupan nyata”. Bagi pembaca, anggapan tentang khayal itu membuat mereka menganggap “kesusastraan sebagai hiburan saja atau paling jauh sebagai hiasan hidup yang indah dan menarik tetapi tidak esensial, yang bisa dikesampingkan di tengah-tengah kesibukan sehari-hari yang sungguh-sungguh”. Sastra, menurut Subagio Sastrowardoyo, dibangun oleh imajinasi yaitu “daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar tentang pengalaman dan kenyataan.”.
Sehubungan dengan istilah imajinasi seringkali terjadi salah kaprah dalam penggunaannya. Ia sering disamakan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Menurut Tedjoworo (2001:22) fantasi lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau hal yang tidak mungkin terjadi. Fantasi sering disamakan dengan khayalan, sedangkan khayalan sering dipakai pula untuk menerjemahkan kata illusion. Padahal ilusi itu ialah “ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu; persepsi atau konsepsi yang keliru tentang sesuatu”. Fantasi pada umumnya selalu dikaitkan dengan gambaran objek yang tidak mungkin, dan memang tidak ada dalam kenyataan, imajinasi dipahami sebagai daya yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin (=dapat ada) atau logis. Imajinasi tidaklah bersangkutan dengan penggambaran objek yang membabi buta dan serabutan tentang suatu objek (yang statis atau dinamis) maupun konsep tertentu.
Sastra memang imajinatif. Imajinasi bukanlah fantasi, sebab imajinasi selalu bermula dari kenyataan dan menghasilkan sesuatu yang mungkin. Untuk memahami makna imajinasi secara lebih baik, Kleden merasa perlu untuk memahami lebih dahulu tiga istilah yang menjadi sumber pengertian dan salah pengertian mengenai kenyataan dan rekaan. Ketiga istilah itu ialah data, fakta, dan fiksi.
Data sebagai bentuk plural dari datum dalam bahasa Latin berarti sesuatu yang sudah diberikan. Sesuatu dianggap data bila kenyataan itu dianggap diberikan oleh alam kepada indra manusia. Kebenaran ilmu empirik memerlukan data, sebab kebenaran itu dianggap hanya berasal dari alam yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Alam tidak pernah menipu, veracitas naturae (the truthfulness of nature).
Fakta berasal dari kata factum dalam bahasa Latin yang sejajar dengan kata bahasa Inggris done. Sesuatu menjadi fakta kalau dia merujuk pada tindakan (behavior). Dalam sejarah kenyataan-kenyataan itu dianggap dibuat dan dilakukan oleh manusia melalui tindakan-tindakannya dan karena itu menjadi fakta. Fakta adalah hasil tindakan manusia sebagai homo-agens atau makhluk yang bertindak dan berbuat. Kladen menegaskan bahwa baik data maupun fakta selalu berhubungan dengan indra manusia. Data diterima oleh indra manusia sedangkan fakta dilakukan oleh indra manusia.
Karena itulah dalam pikiran positivisme maupun behaviorisme fiksi diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indra. Padahal dalam bahasa Latin kata fictio yang berakar kata fingere lebih sedikit menunjukkan segi nonrealnya. Dalam bahasa Inggris kata fictio lebih dekat pada to fashion, to form, to construct, to invent, to fabricate. Jadi fiksi berarti sesuatu yang dibuat, dibentuk, dikonstruksi, dibuat-buat, dibangun. Jika ada unsur rekaan dalam fiksi tidak terletak pada segi real dan nonrealnya tetapi pada segi konstruktif, inventif, dan kreatifnya.
Bahkan pada pandangan cultural studies sastra dianggap sebagai suatu teks budaya atau dokumen sosial, sastra dilihat sebagai representasi sosial. Mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul misalnya oleh ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Akibatnya mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra, daripada sastra itu sendiri, pada konteks daripada teks (Sahal, 2002). Sastra, menurut pemahaman Sahal mengenai cultural studies, dikaji demi kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Padahal menurut Lucy R. Lippard dalam eseinya Trojan Horse: Activists Art and Power (1983) kaum activist artists menyatakan bahwa melalui karya-karya yang politis, mereka tidak berniat melakukan perubahan nilai, atau perubahan sosial, apalagi dalam sekejap, tetapi menempuh strategi “oposisi” terhadap dominasi dan represi. Melalui kedudukan oposisi ini kesenian mengajukan “gambaran-gambaran alternatif, metafora, atau informasi yang dibentuk berupa humor, ironi, kemarahan, ataupun rasa haru” agar “wajah dan suara yang selama ini tak tampak dan bungkam bisa dilihat dan didengar” (Supriyanto, 2002:177). Dari uraian Supriyanto tersebut terlihat bahwa teks dan konteks tidak dapat saling dilepaskan. Teks merupakan strategi oposisi terhadap konteks kontestasi kuasa. Bahkan, Herbert Marcuse berpendapat bahwa seni/sastra harus merupakan ungkapan dari alienasi masyarakat.
Bagi Marcuse, seni/sastra secara hakiki haruslah merupakan ungkapan dari alienasi masyarakat, menampakkan kesadaran akan ketidakbahagiaan orang berhadapan dengan dunia yang terpecah belah, karena kemungkinan-kemungkinan yang tak terwujud, harapan-harapan yang diingkari. Kesenian harus mengungkapkan adanya dimensi manusia dan alam yang tertekan dan tertindas. Kaum seniman harus menunjukkan dalam karya-karyanya suatu dimensi yang dalam kenyataan sosial yang ada belum atau tidak diwujudkan. Mereka harus ‘mentransendir’ kenyataan yang ada (Sudarminta, 1983:132).

Novel sebagai fiksi harus diartikan sebagai sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dikreasi. Sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dan dikreasi itu bisa berupa data, fakta, atau realita secara lebih luas. Ideologi, pemikiran, perasaan, dan sebagainya sebenarnya juga merupakan realitas-realitas, fakta-fakta, data. Hal itu sejajar dengan pandangan Michel Foucault mengenai wacana. Wacana tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto, 2001:64).
Novel sebagai sebuah wacana bukanlah fiksi semata, sejauh bagaimana kita memandang pengertian fiksi itu dan sekaligus bagaimana kita memahami pengertian fakta. Sebab, menurut Sahal (1998:3) garis demarkasi antara fakta dan fiksi, antara ilmu/ filsafat/ laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang pun melumer. Bahkan Zeldin (1994) merasakan bahwa berkat sumbangan dari narasi, dia menulis sebuah sejarah masyarakat modern yang batas antara ilmiah dan imajinatif terlihat kabur.
Salim (dalam Pengantar untuk terjemahan Hayat dan Karya tulisan Geertz, 2002: v) menulis sebagai berikut.
..., di dalam karya-karya yang dianggap menyajikan fakta terkandung imajinasi dan subjektivitas. Persoalannya juga bukan lagi sekadar besar-kecilnya kadarnya, tetapi bahwa kenyataan ini tak dapat dielakkan. Dalam banyak hal, apa yang disebut fakta sesungguhnya adalah sesuatu yang fiktif. Seementara itu yang disebut fiksi, tak sepenuhnya imajinatif dan subjektif. Karya seorang novelis atau penyair, bukan turun tiba-tiba dari langit, tetapi hasil dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Artinya, karyanya pada dasarnya juga menyajikan fakta. Keduanya pada akhirnya sama-sama menyajikan “fakta”, yakni fakta yang telah ditafsirkan. Atau keduanya sama-sama merupakan fiksi: suau ciptaan atau konstruksi.

Novel lahir dari tangan seorang pengarang, tetapi pengarang yang tidak bebas dari atmosfer, baik itu atmosfer budaya, sosial, kepentingan, hegemoni, dan sebagainya.

3. Pandangan Novelis tentang Fakta dan Fiksi
Dalam novelnya Namaku Hiroko Nh. Dini menulis, “Jika dalam kehidupan ada persamaan nama maupun cerita seperti yang terdapat dalam buku ini, tentulah itu hanya merupakan suatu kebetulan.” (1994:9). Ada satu hal yang perlu dikritisi atas ungkapan Dini tersebut yaitu bahwa persamaan nama dan peristiwa antara novel dan kehidupan nyata hanya sebuah kebetulan belaka. Sebuah novel lahir dari kesadaran pengarang dalam berdialog dengan fakta dan data yang dijumpainya dalam hidup nyata. “Kebetulan” dalam konsep Dini tentu bukan kebetulan yang tanpa disengaja, tetapi kebetulan yang lahir dari rekayasa kreatif atas fakta dan data. Peristiwa dalam cerita bukan semata-mata peristiwa yang lahir dan bergolak dalam diri pengarang tetapi peristiwa yang direkonstruksi atau didekonstruksi dari realita yang ada. Artinya, peristiwa dan nama dalam cerita tidak sepenuhnya kebetulan.
Dalam pengantarnya terhadap novelnya Anak Tanahair: Secercah Kisah Ajip Rosidi menulis, “Meskipun roman ini menyangkut peristiwa-peristiwa sejarah dan banyak nama yang disebut di dalamnya benar-benar ada, namun tokoh-tokoh dan jalinan alurnya adalah hayalan semata-mata.” (1985:6). Jadi, dalam novel terdapat realita historis di satu sisi dan realita imajinasi pada sisi yang lain. Jembatan antara realitas historis dan realitas imajinatif itu adalah kesadaran kreatif pengarang. Tampaknya novel tidak dapat melepaskan dari bingkai sejarah, dimensi ruang dan waktu yang ada, sebab justru di situlah pengarang bergelut dan bergulat. Novel sebagai dunia ciptaan, bukanlah sebuah galaksi baru, juga bukan sekadar proyeksi dari peristiwa sejarah. Dalam novel justru bertemu jagad besar (semesta ini) dengan jagat kecil (dunia batin pengarang), fakta dan data pada satu sisi dengan fiksi pada sisi lainnya.
Sikap Dini dan Rosidi itu berbeda dengan sikap Merari Siregar. Siregar dalam mengantarkan novelnya Azab dan Sengsara menulis, “Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, cuma waktunya terjadinya kuatur – artinya dibuat berturut-turut – supaya cerita itu lebih nyata dan terang.” (1985:7). Berdasarkan ungkapan Siregar tersebut terdapat tiga hal penting yang menyangkut persoalan novel. Pertama, hal atau kejadian dalam novel itu benar adanya, artinya ia ditulis berdasarkan data dan fakta. Kedua, novelis melakukan seleksi terhadap data dan fakta tersebut kemudian menatanya sedemikian rupa, baik dari sisi pengaluran dan penokohan. Terdapat proses fiksionalisasi. Ketiga, pembaca melakukan interpretasi terhadap teks novel yang berakibat kepada heteregonitas pemahaman.
Yang menarik adalah pernyataan Budi Darma ketika mengawali novelnya yang berjudul Ny. Talis (Kisah mengenai Madras). Darma menulis, “Semua kisah dalam novel ini, kecuali musibah yang menimpa para pesertanya, seharusnya benar-benar terjadi.” (1996:vii). Ungkapan “seharusnya benar-benar terjadi” mengandung implikatur bahwa kejadian dalam novel itu tidak benar-benar terjadi. Inferensinya kisah dalam novel tersebut kemungkinan bisa saja terjadi, bahkan sebenarnya musibah yang menimpa para tokoh kemungkinan juga bisa saja benar-benar terjadi. Ungkapan “seharusnya benar-benar terjadi” menunjukkan bahwa kejadian dalam novel dan kejadian dalam hidup nyata bukanlah hal yang mesti bertolak belakang.
Ungkapan “kecuali musibah yang menimpa para pesertanya” menunjukkan bahwa Darma tidak ingin merekayasa hal-hal buruk yang menimpa tokoh-tokohnya dalam novel yang ditulisnya. Andaikan terjadi musibah, musibah itu murni konsekuensi logis yang harus dialami oleh para tokoh itu dalam mengarungi perjalanan hidupnya. Artinya, tokoh ciptaan dalam novel itu bergerak secara alamiah didorong oleh logika-logika bumi, bukan hanya logika-logika idea.
Bahkan dalam kumpulan noveletnya yang berjudul Si Gila: Kembali
kepada Fitrah Muhammad Ali menulis:
demi Allah
sesungguhnya apa yang
dipaparkan
tentang orang-orang ini
adalah fakta nyata terjadi
tiada sangsi
anak-anak zaman ini
melihat, mengingat dan
mencatat peristiwa
ini
(1998:5)
Muhammad Ali bahkan bersumpah bahwa peristiwa dalam novel yang ditulisnya benar-benar bersumber dari peristiwa yang sungguh-sungguh dijumpai dalam realita. Berdasarkan pandangan itu terbaca jelas bahwa terdapat data dan fakta dalam sebuah novel. Sedangkan fiksi lebih pada proses pemaparan data dan fakta itu ke dalam bentuk cerita.
Tampaknya, bertolak dari pandangan beberapa novelis itu, semua pengarang menyadari bahwa novel tidak sepenuhnya fiktif. Artinya, dijumpai unsur data dan fakta dalam setiap novel. Data dan fakta itu bisa hadir sebagai rangsangan atau sumber ilham, atau bisa pula hadir sebagai latar atau tema sentral dalam kisah yang ditulisnya. Tetapi, karena novel bukan sekadar proyeksi realitas, ada unsur kreatif yang dimiliki pengarang yang mampu mengubah data dan fakta itu menjadi sebuah dunia ciptaan yang unik. Fiksi berkaitan dengan usaha membangun, membentuk, mengkonstruksi, mengembangkan, dan menyusun data dan fakta itu menjadi “sesuatu” yang baru.

4. Struktur Teks Novel
Dalam novel selalu terdapat bagian teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan monolog maupun dialog. Novel yang memiliki durasi panjang (bila dibandingkan dengan cerita pendek atau novelet) tidak akan membangun struktur teksnya hanya dengan pengaluran semata, atau hanya dengan dialog saja. Sebab, bila hal itu dilakukan novel itu akan menjemukan karena pembaca dihadapkan pada ekspresi yang monoton, tidak bervariasi.
Pengaluran pada hakikatnya ialah merangkai tindakan tokoh dari waktu ke waktu secara kausalitas. Tindakan itu bisa berupa perilaku fisik, misalnya berjalan, mengejar, duduk merenung, dan sebagainya; maupun perilaku rohaniah yang berisi gagasan, pemikiran, perasaan, dan sebagainya. Dalam tataran wacana ekspresi semacam itu dapat digolongkan sebagai wacana narasi.
Berikut ini contoh wacana narasi dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari. Tohari sedang mengisahkan apa yang diperbuat Bajus.
Hampir tengah hari Bajus menghidupkan mesin Jipnya hendak pulang. Srintil sudah membeli jajanan, pepaya dan selai pisang, tetapi Bajus yang membayarnya. Lepas dari daerah pantai Bajus membelokkan jipnya, masuk ke halaman sebuah penginapan. Sejenak Srintil tertegun (1986:171).

Di samping itu dalam novel juga terdapat pelukisan latar, baik itu berupa latar tempat, waktu, maupun latar sosial. Pelukisan latar ini di samping bertujuan untuk membangun imaji faktual agar cerita tampak hidup, juga bertujuan untuk menggambarkan suasana jiwa, hati, maupun batin tokoh. Pelukisan latar termasuk jenis wacana deskripsi. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, wacana narasi dan deskripsi ini tergolong jenis wacana tulis, pada umumnya bersifat transaksional.
Berikut ini contoh wacana deskripsi yang terdapat dalam novel Ketika Novel Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti. Rangkuti berusaha melukiskan suasana hiruk-pikuk lalu lintas di sebuah perempatan jalan yang ber-traffict lihgt.
Ketika lampu berwarna merah, mobil-mobil di ujung jalan itu berhenti membiarkan mobil-mobil dari jurusan yang berlainan melintas di tengah-tengah perempatan itu. Debu tidak nampak beterbangan di udara yang panas di atas jalan aspal yang licin itu. Deru mobil-mobil yang melintas itu membisingkan. Asap hitam disemburkan lubang-lubang knalpot, sehingga dari balik kaca para sopir udara tampak menjadi hitam. Mobil-mobil itu melintas cepat menepiskan angin dan menggoyang pohon hias di sepanjang tepi jalan (2001:1).

Menurut Sudjiman (1988:80) di samping berkisah, pencerita juga dapat memberikan komentar terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ada pun komentar penderita itu ada yang langsung ditujukan kepada pembacanya, ada yang ditujukan kepada tokoh, dan ada pula yang tidak langsung ditujukan kepada pembaca walaupun komentar itu dimaksudkan untuknya. Komentar bisa berupa ragam lisan atau tulis yang bersifat transaksional.
Berikut ini contoh komentar pencerita terhadap perilaku masyarakat yang menjadi latar dalam novel Tanah Baru, Tanah Air Kedua karya N.H.Dini.
Di mana pun, di tempat-tempat umum, selalu terdapat orang-orang yang tidak mempunyai alat tulis! Padahal mereka datang ke sana sudah mengetahui akan membutuhkannya. Di kantor pengiriman telegram, di instansi-instansi pemerintah, dan ini di Dinas Tenaga Kerja. Mereka adalah orang-orang yang cukup berpendidikan. Seharusnya mengerti bahwa alat tulis diperlukan guna mengisi buku tamu maupun formulir ((1997:1-2).

Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam novel akan dijumpai struktur dialog dan juga monolog. Menurut Waluyo (1994:225) jika pada saat bercerita pengarang menguraikan cerita tokoh, maka dalam dialog, pengarang menuliskan percakapan para tokoh.
Secara lengkap Waluyo menulis begini.
Bahasa yang digunakan bukan lagi ragam bahasa tulis, namun ragam bahasa lisan, bahasa yang komunikatif. Dalam ragam bahasa lisan dibenarkan adanya dialek, adanya penghematan bahasa, dan adanya bahasa yang tidak baku. Bahasa dialog biasanya pendek-pendek dan tidak lengkap, karena ucapan tokoh yang satu dilengkapi oleh jawaban tokoh lainnya. Prinsip-prinsip pragmatik berlaku dalam dialog. Bahasa dialog adalah bahasa “speech act” yang memerlukan cara pemahaman yang berbeda dengan bahasa cerita biasa.

Berdasarkan pendapat Waluyo tersebut tampak bahwa dialog tergolong ragam lisan yang bersifat interaksional. Ia juga merupakan wacana percakapan. Berikut ini contoh dialog dalam novel Supernova karya Dee.

Sorot mata Ruben yang tadi terbang mendadak jatuh. Ia menatap Dhimas tak percaya, “Kamu pernah belajar teori keos?”
“Excuse me! Teori keos? Aku baru saja menggubah puisinya Attar, salah satu mistik Sufi ....”
“Ah ya! Sufisme, teori keos, teori relativitas, fisika kuantum ... kadang-kadang aku berpikir semua itu berasal dari satu kotak Pandora, hanya beda jaman, beda bahasa. Kamu sadar betapa indahnya puisi itu? Dan betapa relevannya dengan apa yang kubilang tadi?”
“Memangnya kamu bilang apa?” (2001:6-7).

Bahkan, menurut Sudjiman (1988:84) di samping dialog juga terdapat monolog dalam novel. Dalam monolog seorang tokoh berbicara dengan dirinya sendiri atau berbicara seorang diri saja. Monolog itu cenderung lisan, tetapi bersifat transaksional. Berikut ini contoh monolog yang diucapkan Srintil dalam hatinya saat dua orang pemuda dari Jakarta ingin membeli tubuhnya dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari.
Kini kelelakian muncul lagi dalam diri dua orang pemuda dari Jakarta. Duh, Pengeran! Aku belum tahu harus bagaimana menghadapi laki-laki meski dulu bertahun-tahun aku merasa bangga menjadi pemangku nalurinya (1986:97).

5. Simpulan
Sebagai sebuah bangunan kreatif novel memiliki dua pondasi penting yaitu: (1) pondasi idea dan (2) pondasi ekspresi. Dalam pondasi idea hendaknya novel ditempatkan sebagai karya yang tidak sepenuhnya rekaan karena dalam novel ditemukan anasir data dan fakta. Fiksi bukan berkaitan pada ada-tidaknya fakta atau real-tidak realnya cerita, tetapi lebih pada bagaimana data dan fakta itu dipaparkan oleh pengarang. Pemaparan merupakan wujud pondasi ekspresi. Dalam pemaparan itu akan dijumpai pelbagai jenis wacana yang mengekspresikan bagian teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan monolog maupun dialog.

DAFTAR RUJUKAN
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Ali, Muhammad, 1998. Si Gila: Kembali kepada Fitrah. Surabaya: Diantama

Boulton. Marjorie. 1975. The Anatomy of the Novel. London: Routledge & Kegan Paul.

Darma, Budi, 1996. Ny. Talis (Kisah mengenai Madras). Jakarta: Gramedia.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Dee. 2001. Supernova. Jakarta: Truedee Books.

Dini, Nh. 1994. Namaku Hiroko. Jakarta: Gramedia.

Dini, Nh. 1997. Tanah Baru, Tanah Air Kedua. Jakarta: Grasindo.

Geertz, Clifford, 2002. Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang (Terjemahan Landung Simatupang). Yogyakarta: LkiS.

Kleden, Ignas. 1998. “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam sastra dan Ilmu Sosial”. Kalam. Edisi 11-1998. hlm.5-35.

Rangkuti, Hamzad. 2001. Ketika Lampu Bewarna Merah. Jakarta: Kompas.

Rosidi, Ajip, 1985. Anah Tanahair: Secercah Kisah. Jakarta: Gramedia.

Sahal. Ahmad, 1998. “Musykilnya Representasi” . Kalam. Edisi 11-1998. hlm.3-4.

Sahal. Ahmad, 2002. “”Cultural Studies” dan Tersingkirnya Estetika” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 2002. Bentara: Esei-Esei 2002. Jakarta: Kompas.

Siregar, Merari. 1987. Azab dan Sengsara, Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarminto, J. 1983. “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern” dalam M. Sastrapratedja (ed.). 1983. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Supriyanto, Enin, 2002. “”Cultural Studies”, Kritik Seni dan Apresiasi” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 2002. Bentara: Esei-Esei 2002. Jakarta: Kompas.

Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.

Tohari, Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Zeldin, T., 1994. An Intimate History of Humanty. New York: Harper Collins.

1 komentar:

RuSLi iLhAm FaDLi mengatakan...

Terima kasih Bapak...

Sebenarnya Saya memberi komentar sekaligus bertanya...

Dari apa yang telah Bapak paparkan tadi,, sebenarnya apa yang perlu untuk dipertimbangkan untuk membuat novel itu apa?
Apakah kita menulis novel sesuai dengan apa yang kita inginkan atau kita menulis novel sesuai selera pasar yang ada pada saat itu?

Terima kasih....